Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat Dalam Alquran

Pertanyaan

Apa Yang Dimaksud Dengan Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat Dalam Alquran?

Adanya ayat-ayat yang muhkam (tegas) dan mutasyabihat (serupa) secara eksplisit disebutkan dalam ayat ke-7 surat Ali Imran. Ayat-ayat yang muhkam disebut sebagai "umm al-kitab" (induk kitab). Muhkamat berarti sesuatu yang kuat, kokoh, dan tidak bisa dipengaruhi atau dirusak oleh apapun, sementara mutasyabihat berarti sesuatu yang serupa atau mirip, sehingga kemiripan tersebut bisa menyebabkan kebingungannya antara yang benar (haqq) dan yang salah (bathil).

Untuk keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur'an, disebutkan beberapa alasan, seperti ketidakmampuan kata-kata (lafazh) untuk menyampaikan makna-makna yang mendalam dan tinggi, keterbatasan akal manusia dalam memahami hal-hal yang bersifat metafisik (yang melampaui alam fisik) dan kehidupan setelah mati, seruan kepada para pemilik akal dan pemikiran untuk merenung dan memikirkan Al-Qur'an, serta merujuk kepada mereka yang "rasikhun fi al-ilm" (yang dalam ilmu pengetahuan teguh), yaitu Nabi Muhammad saw dan Ahlul Bayt as.

Makna Lughawi (Bahasa) dan Istilah dari Muhkamat dan Mutasyabihat

Muhkamat

"Muhkam" berasal dari akar kata حَكَمَ حَكْماً, yang berarti "menahan" atau "mencegah". Jadi, muhkam berarti sesuatu yang kuat, kokoh, dan tidak dapat terganggu atau dirusak. Dengan kata lain, muhkam adalah sesuatu yang jelas, tidak bisa disalahartikan, dan tidak bisa dipengaruhi oleh kebingungannya. Menurut Raghib al-Isfahani, kata حَكَم pada asalnya berarti "menahan atau mencegah", terutama untuk mencegah kerusakan atau kebinasaan. Jadi, muhkam merujuk pada segala sesuatu yang tidak bisa dipengaruhi atau dirusak, serta sangat jelas dan tidak bisa dipahami secara salah.[1] Dengan demikian, segala ucapan atau kata yang jelas, tidak menimbulkan keraguan, dan tidak mudah disalahpahami disebut "muhkam".[2]

Mutasyabihat

"Mutasyabih" berasal dari akar kata شُبْه (sebagai sumber kata), yang berarti "seperti" atau "mirip", atau شَبَه (sebagai sumber kata), yang berarti "kesamaan". Mutasyabih mengacu pada hal-hal yang memiliki kemiripan, namun di dalam kemiripan itu, kebenaran menjadi tersembunyi, sehingga membuat kita sulit membedakan antara yang benar (haqq) dan yang salah (bathil). Raghib al-Isfahani menjelaskan bahwa mutasyabihat dalam Al-Qur'an adalah ayat-ayat yang sulit untuk ditafsirkan, karena bentuknya tidak jelas menunjukkan makna yang sebenarnya, dan lebih menyerupai hal lain.[3] Dengan kata lain, jika sesuatu yang benar (seperti Al-Qur'an) tampak mirip dengan sesuatu yang salah atau tidak benar, maka hal itu disebut mutasyabih.[4]

Ayat-ayat Muhkamat Dalam Al-Qur'an

Ayat-ayat Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sangat jelas sehingga tidak ada keraguan atau perdebatan tentang arti dan tafsirnya. Contohnya adalah ayat dalam Surat Al-Ikhlas: ﴾قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ؛ Katakanlah, "Dia adalah Allah, Yang Maha Esa﴿.

Ayat-ayat seperti ini disebut "Umm al-Kitab" (Induk Kitab). Umm al-Kitab[5] berarti dasar atau sumber dari ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an, terutama ayat-ayat mutasyabihat, yang membutuhkan penafsiran lebih lanjut.[6]

Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur'an

Dalam Surat Ali Imran: ﴾هُوَ الَّذِی أَنْزَلَ عَلَیْکَ الْکِتَابَ مِنْهُ آیَاتٌ مُحْکَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْکِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ…؛ Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur`ān) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muḥkamāt,*(111) itulah pokok-pokok kitab (Al-Qur`ān) dan yang lain mutasyābihāt.…﴿(Ali Imran:7), disebutkan bahwa ada ayat-ayat yang jelas (muhkamat) yang menjadi dasar Al-Qur'an (Umm al-Kitab), sementara ada juga ayat-ayat yang mutasyabihat (yang mirip atau membingungkan). Ayat-ayat mutasyabihat ini biasanya memerlukan penafsiran lebih dalam.

  • Contoh ayat mutasyabih: ﴾فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَکِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَیْتَ إِذْ رَمَیْتَ وَلَکِنَّ اللَّهَ رَمَی وَلِیُبْلِیَ الْمُؤْمِنِینَ مِنْهُ بَلاءً حَسَنًا إِنَّ اللَّهَ سَمِیعٌ عَلِیمٌ؛ Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.﴿(Al-Anfal:17)

Beberapa orang mungkin menafsirkan ayat ini untuk menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas dan bahwa semua yang terjadi hanya karena kehendak Allah.[7] Namun, penafsiran yang lebih tepat adalah bahwa meskipun Allah memberi pertolongan melalui malaikat-Nya, peran manusia (seperti Rasulullah saw) dalam peristiwa tersebut tetap ada. Allah ingin menunjukkan bahwa kemenangan kaum Muslimin atas kaum kafir bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari pertolongan-Nya.[8]

  • Contoh lainnya: ﴾یَوْمَ یُکْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَیُدْعَوْنَ إِلَی السُّجُودِ فَلا یَسْتَطِیعُونَ؛ Pada hari ketika (terjadi) peristiwa besar, dan mereka dipanggil untuk sujud, tetapi mereka tidak bisa melakukannya.﴿

Di sini, kata "سَاقٍ" (betis) digunakan dalam bahasa Arab untuk menggambarkan kesulitan atau keadaan yang sangat serius. "Keshaf as-saq"** (terbukanya betis) berarti kesiapan penuh atau keadaan yang sangat mendesak. Jadi, ayat ini menggambarkan bahwa pada Hari Kiamat, keadaan akan semakin buruk bagi orang-orang kafir, dan mereka akan merasa terhimpit.[9]

Namun, beberapa orang (seperti penganut Asy'ariyyah dan Ahl al-Tajsim) menafsirkan ayat ini secara harfiah dan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah betis Allah yang akan terbuka. Tetapi penafsiran yang lebih tepat adalah bahwa ini adalah ungkapan kiasan untuk menggambarkan keadaan yang penuh kesulitan.[10]

Beberapa Alasan Adanya Ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur'an

Ada beberapa alasan mengapa ayat-ayat mutasyabihat ada dalam Al-Qur'an:

  • Keterbatasan bahasa manusia: Bahasa yang digunakan oleh manusia tidak selalu dapat menggambarkan makna yang lebih dalam, terutama hal-hal yang berhubungan dengan alam gaib dan kehidupan setelah mati. Karena itu, banyak ayat yang mutasyabih muncul, dan maknanya membutuhkan penafsiran lebih lanjut.[6]
  • Realitas kehidupan setelah mati yang sulit dipahami:Banyak ayat yang berbicara tentang kehidupan setelah mati, yang di luar jangkauan pemahaman manusia. Karena keterbatasan akal manusia, beberapa ayat ini menjadi mutasyabih dan hanya bisa dipahami jika diberi penafsiran atau penjelasan oleh orang yang lebih berilmu.[6]
  • Perbedaan pemahaman manusia: Meskipun Al-Qur'an pada dasarnya jelas, ketika diturunkan kepada manusia yang memiliki pemahaman terbatas, muncul kemungkinan terjadinya kesulitan dalam memahaminya. Seperti halnya hujan yang jatuh dari langit tanpa bentuk yang jelas, ketika sampai di bumi, ia akan bercampur dengan banyak hal. Begitu juga dengan wahyu, yang kadang-kadang terlihat mutasyabih karena keterbatasan pemahaman manusia.[11]
  • Menghargai keilmuan dan pemahaman yang lebih tinggi: Ayat-ayat mutasyabihat memberikan kesempatan bagi orang-orang yang berilmu dan bijaksana untuk menggali makna yang lebih dalam. Dengan cara ini, orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih dapat menunjukkan keunggulannya dalam memahami wahyu Allah, sementara orang lain dapat merujuk kepada mereka.[12]
  • Meningkatkan kebutuhan umat kepada pemimpin agama: Keberadaan ayat-ayat mutasyabihat juga menunjukkan bahwa umat manusia sangat membutuhkan bimbingan dari pemimpin agama yang memiliki pemahaman yang mendalam, seperti Nabi Muhammad saw dan Ahlul Bayt as. Hal ini mendorong umat untuk mendalami ilmu dan merujuk kepada mereka yang lebih memahami wahyu.[6]

Catatan Kaki

  1. Rāghib Iṣfahānī, Ḥusayn bin Muḥammad, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, Beirut, Dār al-Shāmiyyah, Cetakan pertama, 1412 H, halaman 248.
  2. Ma‘rifat, Muḥammad Hādī, ‘Ulūm Qur’ānī, halaman 271.
  3. Rāghib Iṣfahānī, Ḥusayn bin Muḥammad, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, Beirut, Dār al-Shāmiyyah, Cetakan pertama, 1412 H, halaman 443.
  4. Ma‘rifat, Muḥammad Hādī, ‘Ulūm Qur’ānī, halaman 273.
  5. Surah Āl ‘Imrān, ayat 7.
  6. Panjat ke: 6.0 6.1 6.2 6.3 Makāram Shīrāzī, Nāṣir, Tafsīr Nemūneh, Teheran, Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, Cetakan kesepuluh, 1371 HS, Jilid 2, halaman 432.
  7. Riḍā, Muḥammad Rashīd, Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm al-Mashhūr bi Tafsīr al-Manār, Beirut, Dār al-Ma‘rifah, Cetakan pertama, 1414 H, Jilid 10, halaman 138.
  8. Ṭabāṭabā’ī, Muḥammad Ḥusayn, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, terj.: Muḥammad Bāqir Mūsawī Hamadānī, Qom, Daftar Intishārāt Islāmī, Cetakan kelima, 1374 HS, Jilid 9, halaman 47.
  9. Zamakhsharī, Maḥmūd bin ‘Umar, Al-Kashshāf ‘an Ḥaqā’iq Ghawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl, Beirut, Dār al-Kitāb al-‘Arabī, Cetakan ketiga, 1407 H, Jilid 4, halaman 593.
  10. Ma‘rifat, Muḥammad Hādī, ‘Ulūm Qur’ānī, halaman 285.
  11. Jawādī Āmulī, ‘Abdullāh, Qur’ān dar Qur’ān, halaman 416.
  12. Ṭūsī, Muḥammad bin Ḥasan, Al-Tibyān fī Tafsīr al-Qur’ān, Beirut, Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, Cetakan pertama, Jilid 2, halaman 396.

Templat:تکمیل مقاله