Syafaat: Perbezaan antara semakan
Tiada ringkasan suntingan |
|||
Baris 103: | Baris 103: | ||
}} | }} | ||
{{text end}} | {{text end}} | ||
[[fa:شفاعت]] |
Semakan semasa pada 05:15, 19 Februari 2025
Apa arti syafaat dan siapa saja yang dapat memberikan syafaat?
Syafaat berarti perantaraan seseorang yang memiliki kedudukan dan status untuk membantu seseorang yang membutuhkan, baik dalam hal kepemimpinan (syafaat kepemimpinan) maupun pengampunan (syafaat pengampunan). Syafaat bukan berarti memberikan keberanian untuk melakukan dosa, melainkan seseorang harus memiliki tingkat kesempurnaan tertentu agar dapat menerima syafaat. Pada dasarnya, syafaat adalah bentuk pendampingan orang yang membutuhkan oleh pemberi syafaat, karena orang tersebut tidak mampu mencapai kesempurnaan sendiri dan membutuhkan bantuan dari pemberi syafaat. Berdasarkan ayat-ayat dan riwayat, Nabi Muhammad saw, para nabi, Ahlul Bait as, orang-orang beriman, anak-anak, ulama, Al-Qur'an, dan malaikat termasuk di antara pemberi syafaat. Syirik kepada Allah, permusuhan dengan Nabi dan Ahlul Bait as, tipu daya, dan meremehkan shalat dianggap sebagai penghalang syafaat.
Syafaat yang berasal dari Allah adalah pengampunan, dan syafaat dari orang lain tidak bertentangan dengan pengampunan Ilahi, karena Allah-lah yang memberikan izin kepada para pemberi syafaat untuk memberikan syafaat, baik sebagai pahala bagi orang-orang yang dekat dengan-Nya maupun sebagai rahmat bagi hamba-hamba-Nya.
Makna Linguistik dan Istilah
Syafaat secara bahasa berasal dari kata syaf'a yang berarti «ضمّ الشيء الي مثله؛ menggabungkan sesuatu dengan yang lain». Lawan katanya adalah watr yang berarti tunggal dan tersembunyi. Syafaat merujuk pada penggabungan seseorang yang lebih tinggi dan kuat untuk membantu orang yang lebih lemah.
Secara istilah, syafaat digunakan dalam dua makna utama: 1. Syafaat dalam penggunaan umum dan konvensional berarti seseorang yang memiliki posisi, kepribadian, dan pengaruh tinggi dapat mengubah pandangan orang yang berkuasa mengenai hukuman atau pahala bagi bawahannya. 2. Syafaat dalam terminologi agama berarti seseorang yang membutuhkan syafaat menciptakan kondisi untuk keluar dari situasi yang tidak diinginkan dan pantas dihukum, dan melalui hubungan dengan pemberi syafaat, ia menempatkan dirinya dalam situasi yang diinginkan dan layak mendapatkan pengampunan.
Jenis-jenis Syafaat
Menurut Syahid Muthahhari, syafaat terbagi menjadi dua jenis: 1. Syafaat kepemimpinan
Syafaat kepemimpinan adalah syafaat yang mencakup penyelamatan dari azab, pencapaian kebaikan, dan bahkan peningkatan derajat. Syafaat ini berlaku untuk hamba-hamba yang baik dan suci.
2. Syafaat pengampunan
Syafaat pengampunan adalah syafaat yang bertujuan untuk menghilangkan azab dan mengampuni dosa, dan pada akhirnya dapat menyebabkan pencapaian kebaikan. Rasulullah saw bersabda tentang jenis syafaat ini: "Aku menyimpan syafaatku untuk orang-orang berdosa dari umatku yang melakukan dosa besar, tetapi orang-orang baik tidak akan dihukum."[1]
Filosofi Syafaat
Templat:Utama Templat:Kotak kutipan
Tidak diragukan lagi bahwa hukuman-hukuman Ilahi, baik di dunia ini maupun di akhirat, tidak bersifat balas dendam, melainkan semua itu pada dasarnya adalah jaminan untuk mematuhi hukum-hukum Ilahi dan untuk kemajuan dan kesempurnaan manusia. Di sisi lain, jalan kembali dan perbaikan tidak boleh sepenuhnya ditutup bagi para pendosa, melainkan mereka harus diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali kepada Allah, kesucian, dan ketakwaan. Syafaat ada untuk menjaga keseimbangan ini dan sebagai sarana bagi para pendosa dan orang-orang yang tercemar untuk kembali.[2]
Pada dasarnya, orang yang meminta syafaat tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mencapai tujuannya sendiri; oleh karena itu, ia menggabungkan kekuatannya dengan kekuatan pemberi syafaat dan akhirnya mencapai apa yang diinginkannya, sedangkan jika ia tidak melakukan ini, karena kekuatannya sendiri tidak lengkap, lemah, dan terbatas, ia tidak akan mencapai tujuannya.[3] Dalam arti tertentu, syafaat adalah bahwa makhluk yang lebih rendah yang memiliki potensi untuk melompat dan maju meminta bantuan dan dukungan dari makhluk yang lebih tinggi, tentu saja, permintaan bantuan dari sudut pandang kesempurnaan dan spiritual tidak boleh jatuh ke tingkat yang kehilangan kekuatan untuk melompat dan berkembang, dan kemungkinan transformasinya menjadi manusia suci hilang.[4]
Syafaat dalam Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an, ayat-ayat yang membahas masalah syafaat dapat dibagi menjadi empat kategori:
- ayat-ayat yang secara mutlak menolak syafaat. ﴾أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْناکُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ یَأْتِیَ یَوْمٌ لا بَیْعٌ فِیهِ وَ لا خُلَّه وَ لا شَفاعَه؛ Infakkanlah sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang di dalamnya tidak ada jual beli, persahabatan, dan syafaat﴿(Al-Baqarah:254), ﴾وَ لا یُقْبَلُ مِنْها شَفاعَه؛ Dan syafaat apa pun tidak akan diterima﴿(Al-Baqarah:48), ﴾فَما تَنْفَعُهُمْ شَفاعَه الشَّافِعِینَ؛ Maka syafaat para pemberi syafaat tidak akan bermanfaat bagi mereka.﴿(Al-Muddathir:48)
- ayat-ayat yang mengidentifikasi "syafaat" secara eksklusif untuk Allah. ﴾ما لَکُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِیٍّ وَ لا شَفِیعٍ؛ Tidak ada pelindung dan pemberi syafaat selain Dia﴿(As-Sajdah:4), ﴾قُلْ لِلَّهِ الشَّفاعَه جَمِیعاً؛ Katakanlah: "Syafaat seluruhnya milik Allah."﴿(Az-Zumar:44)
- ayat-ayat yang mensyaratkan syafaat dengan izin Allah. ﴾مَنْ ذَا الَّذِی یَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ؛ Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya?﴿(Al-Baqarah:255), ﴾وَ لا تَنْفَعُ الشَّفاعَه عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ؛ Dan syafaat tidak bermanfaat di sisi-Nya kecuali bagi orang yang diizinkan-Nya﴿(Saba':23) (Saba':23)
Dengan merenungkan dan menganalisis kumpulan ayat-ayat ini, menjadi jelas bahwa ayat-ayat yang menolak syafaat tidak menolaknya secara mutlak; melainkan menolak syafaat tanpa izin dan keridhaan Allah serta untuk semua pendosa (tanpa syarat). Selain itu, dalam ayat ﴾فَما تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَه الشَّافِعِینَ؛ Maka syafaat para pemberi syafaat tidak akan bermanfaat bagi mereka﴿, keberadaan syafaat dan pemberi syafaat telah dibuktikan.
Syafaat dalam Mazhab Islam Lainnya
Salafi
Mereka, seperti Muslim lainnya, menerima syafaat sebagai prinsip Islam, dan Nabi saw akan memberikan syafaat bagi para pendosa dari umatnya. Namun, meminta syafaat di dunia ini dilarang, dan karena hanya Allah yang berkuasa atas syafaat, meminta syafaat dari orang lain dianggap sebagai syirik.[5]
Mu'tazilah
Mu'tazilah percaya bahwa syafaat hanya akan meningkatkan pahala; bukan pengampunan dosa. Mu'tazilah merujuk pada ayat Al-Qur'an ini: ﴾أَفَمَنْ حَقَّ عَلَیْهِ کَلِمَةُ الْعَذَابِ أَفَأَنْتَ تُنْقِذُ مَنْ فِی النَّارِ؛ Apakah engkau dapat menyelamatkan orang yang telah ditetapkan baginya kata azab dari api neraka?﴿(Az-Zumar). Oleh karena itu, mereka yang pantas menerima azab, menurut Al-Qur'an, tidak ada seorang pun, bahkan Nabi saw, yang dapat menyelamatkannya dari azab neraka.
Syaikh Mufid menjawab argumen ini dengan mengatakan bahwa mereka yang percaya pada syafaat tidak mengklaim bahwa Nabi menyelamatkan orang-orang yang pantas menerima azab dari api neraka, melainkan Allah menyelamatkan mereka demi memuliakan Nabi saw.[6]
Asy'ariyah
Asy'ariyah, salah satu aliran teologi Ahlus Sunnah, berbeda dengan Mu'tazilah, percaya bahwa syafaat juga dapat mengampuni dosa. Abdul Rahman bin Ahmad Al-Iji, salah satu ulama besar Asy'ariyah, dalam bukunya Mawaqif, menganggap syafaat sebagai konsensus umat Islam dan percaya bahwa syafaat dapat menghapus dosa-dosa besar.[7] Selain itu, dari hadis dan ayat ﴾وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِکَ وَلِلْمُؤْمِنِینَ وَالْمُؤْمِنَاتِ؛ Dan mintalah ampun untuk dosamu dan untuk orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan﴿(Muhammad:19), terbukti bahwa meminta pengampunan untuk orang lain, selain membuktikan prinsip syafaat, juga membuktikan syafaat untuk dosa-dosa.
Pemberi Syafaat
Menurut ayat-ayat Al-Qur'an, syafaat para wali Allah tergantung pada izin Tuhan. Berbagai riwayat telah mengidentifikasi pemberi syafaat pada hari kiamat. 1. Para nabi dan Nabi Muhammad saw: Di antara pemberi syafaat adalah para nabi, dan tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah saw memiliki kedudukan syafaat, dan Ahlus Sunnah dan Syiah sepakat dalam hal ini. Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq as, dikatakan bahwa tidak ada nabi atau rasul yang memberikan syafaat sampai Allah mengizinkan mereka, kecuali Nabi Islam saw yang telah diberikan izin untuk memberikan syafaat sebelum hari kiamat, dan syafaat pertama adalah untuknya dan para imam dari keturunannya, kemudian untuk para nabi.[8] 2. Ahlul Bait as: Dari Imam Shadiq as tentang ayat ﴾فمالنا من شافعین و لا صدیق حمیم؛ Maka kami tidak memiliki pemberi syafaat dan tidak pula teman dekat.﴿(Asy-Syu'ara'), beliau berkata: "Pemberi syafaat adalah para imam dan teman-teman dari orang-orang beriman."[9] 3. Orang-orang beriman: Banyak riwayat tentang syafaat orang-orang beriman, bahkan syafaat anak-anak mereka yang keguguran.[10] Nabi saw bersabda: "Jangan meremehkan orang-orang miskin dari pengikut Ali as dan keluarga Ali as setelahnya, karena setiap dari mereka akan memberikan syafaat kepada sekelompok orang seperti suku Rabi'ah dan Mudhar."[11] 4. Ulama: Imam Shadiq as bersabda: "Ketika hari Kiamat tiba, Allah akan membangkitkan ulama dan ahli ibadah, kemudian kepada ulama dikatakan: 'Berdirilah dan berikan syafaat untuk orang-orang sebagai imbalan karena engkau telah mendidik mereka dengan baik...'"[12] 5. Peziarah Imam Husain as: Imam Shadiq as bersabda: "Kepada para peziarah Imam Husain as dikatakan: 'Pegang tangan siapa pun yang engkau suka dan bawa mereka ke surga."[13] 6. Malaikat 7. Al-Qur'an
Penghalang Syafaat
Faktor-faktor yang menghalangi syafaat disebutkan dalam beberapa riwayat. Berikut adalah beberapa faktor tersebut:
- Syirik kepada Allah: Nabi saw bersabda: «شفاعتي نائله ان شاء الله من مامت و لايشرك باالله شيئا؛ Syafaatku akan diberikan, insya Allah, kepada orang yang mati dan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun.»[14]
- Penipu: Nabi saw bersabda: «من غشّ العرب لم يدخل في شفاعتي و لم تنله مودتي؛ Orang yang menipu orang Arab tidak akan masuk dalam syafaatku dan tidak akan mendapatkan cinta kasihku.»[15]
- Ekstremis agama: Rasulullah saw bersabda: «صنفان لا تنالهما شفاعتي: سلطان غشوم و عسوف و غال فی الدین مارق غیر تائب؛ Dua kelompok tidak akan mendapatkan syafaatku: penguasa yang zalim dan kejam, serta ekstremis dalam agama yang menyimpang dan tidak bertobat.» Qurb al-Asnad 64, lihat Khisal 63, dan Mustadrak al-Wasa'il, jilid 12, halaman 99.</ref>
- Permusuhan dengan Ahlul Bait as: Imam Shadiq as bersabda: «انّ المؤمن لیشفع حمیمه، الاّ أن یکون ناصباً، و لو أنّ ناصباً شفع له کل نبی مرسل و ملک مقرب ما شفعوا؛ Sesungguhnya orang beriman akan memberikan syafaat kepada teman dekatnya, kecuali jika teman itu adalah seorang Nashibi (musuh Ahlul Bait), karena jika semua nabi yang diutus dan malaikat yang dekat memberikan syafaat untuknya, syafaat itu tidak akan diterima.»[16]
- Meremehkan shalat: Imam Shadiq as meriwayatkan dari Nabi saw: «لا ينال شفاعتي من استخفّ بصلاته؛ Syafaatku tidak akan diberikan kepada orang yang meremehkan shalatnya.».[17]
- Pendusta syafaat: Imam Ridha as bersabda: Imam Ali as berkata: "Siapa yang mendustakan syafaat Nabi saw tidak akan mendapatkannya."[18]
Syafaat dan Pengampunan
Syafaat adalah pengampunan Ilahi yang, ketika dikaitkan dengan Allah sebagai sumber segala kebaikan dan rahmat, disebut "pengampunan," dan ketika dikaitkan dengan perantara dan saluran rahmat, disebut "syafaat." Oleh karena itu, karena semua kesempurnaan adalah milik Allah dan diberikan kepada orang lain dengan izin dan kehendak-Nya, tidak ada kontradiksi antara pengampunan Tuhan dan syafaat yang diizinkan dan diberikan oleh para nabi dan orang-orang suci lainnya. Allah menghendaki bahwa beberapa hamba-Nya, karena kedekatan dan kemuliaan mereka di sisi-Nya, menerima pahala atas keteguhan mereka.
Catatan Kaki
- ↑ Muthahhari, Murtadha, Kumpulan Karya, edisi kelima, Penerbit Sadra, jilid 1, halaman 247.
- ↑ Makarem Shirazi, Naser dan rekan-rekan, Tafsir Nemuneh, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1371 H, jilid 1, halaman 233, jilid 28.
- ↑ Thabathaba'i, Sayid Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizan, translationan Muhammad Baqir Hamadani, jilid 1, halaman 211.
- ↑ Subhani, Ja'far, Ajaran Wahhabiyah, Masyarakat Guru Hauzah Ilmiah Qom, 1364 H, halaman 258, Ja'fari, Muhammad Taqi, Tafsir dan Kritik serta Analisis Masnawi, edisi kedua, 1351 H, jilid 7, halaman 387.
- ↑ Subhani, Ja'far, Ajaran Wahhabiyah, halaman 260, Qom, Kantor Publikasi Islam, 1364 H.
- ↑ Al-Hasani, Hasyim Ma'ruf, Syiah dalam Menghadapi Mu'tazilah dan Asy'ariyah, halaman 299, Masyhad, Astan Quds Razavi, ketiga, 1379 H.
- ↑ Al-Iji, 'Adududdin, Mawaqif, halaman 508, Beirut, Dar Al-Jil, pertama, 1997, tanpa tahun.
- ↑ Thabathaba'i, Sayid Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizan, translationan Musawi Hamadani, jilid 1, halaman 238.
- ↑ Musawi Isfahani, Mikyāl al-Makārim, translationan Sayid Mahdi Ha'iri Qazwini, cetakan Negin, jilid 1, halaman 453; dan Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar, jilid 8, halaman 42.
- ↑ Tafsir Al-Mizan, ibid.
- ↑ Mikyāl al-Makārim, jilid 1, halaman 454, Bihar al-Anwar, jilid 8, halaman 59.
- ↑ Mikyāl al-Makārim, jilid 1, halaman 454, Bihar al-Anwar, jilid 8, halaman 59.
- ↑ Mikyāl al-Makārim, jilid 1, halaman 444-445, dan Bihar al-Anwar, jilid 101, halaman 27.
- ↑ Musnad Ahmad, jilid 2, halaman 426; dan dikutip dari Ilahiyat, jilid 2, halaman 854.
- ↑ Musnad Ahmad, jilid 1, halaman 72; dan dikutip dari Ilahiyat, jilid 2, halaman 854.
- ↑ Tsawab al-A'mal, oleh Ash-Shaduq, halaman 251, dikutip dari Subhani, Ja'far, Ilahiyat, jilid 2, halaman 845.
- ↑ Wasail, jilid 3, halaman 17, bab, Syiah, bab-bab tentang jumlah kewajiban dan sunnah, hadis 10.
- ↑ Uyun Akhbar al-Ridha, jilid 2, halaman 66, dikutip dari Subhani, Ja'far, Ilahiyat, jilid 2, halaman 846.