Urgensi Pengetahuan Ketuhanan (Teologi)

Daripada WikiPasokh
Semakan 175 pada 08:42, 27 Mei 2023 oleh Eaminiea (bincang | sumb.)
(beza) ← Semakan terdahulu | Semakan semasa (beza) | Semakan berikutnya→ (beza)

Pertanyaan:

Apa urgensi dan perlunya mengenal Tuhan? Apa akibat dari tiadanya perhatian dalam upaya mengenal Tuhan(teologi)?

Para teolog mengemukakan dua argumen(dalil) terkait urgensi atau perlunya pengenalan Tuhan, yaitu: memperhatikan kemungkinan hukuman di akhirat jika para Nabi mengatakan kebenaran (mencegah kemungkinan hal yang merugikan), dan kewajiban untuk mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan kepada manusia dimana hal itu hanya memungkinkan jika Dia dikenal (perlunya mensyukuri pemberi nikmat). Sepanjang sejarah kemanusiaan, perhatian manusia kepada Tuhan dan kecenderungan dirinya untuk mengidentifikasi sumber atau asal usul keberadaan, telah meningkatkan pentingnya pengenalan Tuhan.

Pentingnya Mengenal Tuhan (Teologi)

Mengetahui asal usul eksistensi senantiasa menjadi salah satu perhatian utama umat manusia dan sebagian besar dari sumber-sumber agama adalah mendeskripsikan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia dan dunia. Pentingnya pengenalan Tuhan juga dapat dilihat dari segi pengaruhnya terhadap kehidupan individu dan kolektif manusia. Tidak diragukan lagi bahwa kehidupan orang yang mengenal Tuhan sangatlah berbeda dengan kehidupan orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan. Begitupula, perbedaan mendasar nampak pula ketika kita membandingkan kehidupan dua orang yang percaya kepada Tuhan yang masing-masing memiliki gambaran berbeda tentang Tuhannya. Semua ini karena keyakinan seseorang kepada Tuhan dan persepsi yang dia miliki tentang sifat-sifat-Nya, berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu dalam motif, niat, penilaian dan tindakannya. Dengan kata lain, semuai itu memberikan makna dan konsep khusus dalam hidupnya dan memberinya karakter dan identitas khusus.

Perlunya Pengenalan Tuhan (Teologi)

Secara fitrawi dalam diri manusia telah tertanam suatu tingkat pengetahuan tentang Tuhan dan telah berjalin kelindan dengan keberadaan mereka. Pengetahuan bawaan ini hanya menciptakan atau prakondisi bagi pertumbuhan dan penyempurnaan pengetahuan tentang Tuhan bagi manusia. Namun demikian, untuk lebih menekankan perlunya bergerak kearah pengenalan Tuhan, para teolog Islam telah mengemukakan serentetan argument terkait perlunya perenungan dan pengenalan terhadap Tuhan.[1]

Mencegah Kemungkinan Hal Merugikan

Setiap orang yang mengetahui kedatangan para nabi Ilahi serta ajakan mereka untuk menyembah Tuhan, akan timbul dalam pikirannya sebuah perkiraan atau kemungkinan bahwa jika saja para nabi benar dalam ajakan mereka, maka dia tentulah akan dihukum karena tidak menjalankan tugas-tugas (kewajiban) yang telah diberikan oleh para nabi. Dan dari sisi ini, kerugian besar akan menimpanya. Di sisi lain, akal menyatakan bahwa seseorang sedapat mungkin harus menghindari hukuman atau hal-hal yang merugikan, meskipun hal itu hanya berupa kemungkinan. Olehnya itu, bagi setiap manusia terdapat kemungkinan bahwa ia akan mengalami azab dan hukuman dikarenakan tidak mengikuti agama, dan karena akal menyatakan perlu untuk mencegah kerugian akibat kekufuran, maka akal menetapkan bahwa seseorang harus meneliti dan merenungi keberadaan Tuhan dan sifat-sifatnya sehingga jika benar-benar ada Tuhan dan ajakan para nabi itu benar, dia bisa menyelamatkan dirinya dari azab Ilahi dengan mengikuti mereka.

Perlunya Mensyukuri Pemberi Nikmat

Tidak diragukan lagi bahwa manusia dalam hidupnya mendapatkan begitu banyak nikmat dan keberkahan. Di sisi lain, akal manusia menganggap rasa syukur atas “Pemberi nikmat” sebagai hal yang perlu; Oleh karena itu, manusia perlu berterima kasih kepada pemberi nikmat, dan karena rasa terima kasih suatu makhluk bergantung pada pengetahuannya, akal manusia menyatakan bahwa dia harus mengenali sang pemberi nikmat yang sesungguhnya (yaitu Tuhan itu sendiri).

Referensi

1. Dalam beberapa sumber dan referensi ilmu kalam, pembahasan ini diketengahkan dibawah judul umum “Wujub al-Nadzar” (perlunya berpikir). Menurut pendapat ulama Imamiyah dan Mu'tazilah, kewajiban ini merupakan kewajiban rasional, dan Asy'ari menganggapnya sebagai kewajiban syariat. Lihat Allamah Hilli, Kasyf al-Murad, hal. 260 dan 261; Al-Sayuri, Jamaluddin Miqdad bin Abdullah (Fadhil Miqdad), Irsyad al-Thalibin Ila Nahj al-Mustarsyidin, hlm. 111-113.