Pandangan Wahabi Tentang Tawasul

Semakan 938 pada 22:09, 21 Februari 2025 oleh Abadiyuwono2014 (bincang | sumb.) (→‎Catatan Kaki)
(beza) ← Semakan terdahulu | Semakan semasa (beza) | Semakan berikutnya→ (beza)
Pertanyaan

Bagaimana pandangan Wahabi mengenai tawasul (berperantara) kepada Al-Qur'an dan Ahlul Bait, dan bagaimana pandangan mereka dapat dibantah?


Tawasul kepada para nabi dan Ahlul Bait as dalam mazhab Syiah dianggap sebagai tindakan yang sah dan efektif. Orang-orang beriman percaya bahwa Ahlul Bait as dapat menjadi perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya, memberikan syafaat di dunia dan akhirat, serta menjawab doa dan permintaan orang-orang beriman di saat-saat sulit. Tindakan ini dianggap sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan terkabulnya doa.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pada berbagai masa, orang-orang beriman telah melakukan tawasul kepada Ahlul Bait as dan meminta pertolongan dari mereka. Ziarah-ziarah terkenal seperti Ziarah Asyura dan Ziarah Jami'ah Kabirah adalah contoh-contoh tawasul dalam doa dan ziarah, di mana syafaat dan pertolongan Ahlul Bait as disebutkan. Tindakan ini membantu memperkuat iman dan mendekatkan diri kepada Allah.

Salah satu topik yang telah umum di kalangan semua Muslim sepanjang sejarah adalah masalah istighatsah (meminta pertolongan) dan meminta hajat dari para wali Allah, yang diterima oleh semua Muslim kecuali Wahabi, yang menganggap tindakan ini sah dan diperbolehkan. Sebenarnya, manusia dengan melakukan istighatsah menjadikan keberadaan suci Nabi saw dan para imam maksum as sebagai perantara rahmat dan percaya bahwa segala urusan berada di bawah kekuasaan Allah Yang Maha Tinggi, dan seseorang menjadikan para imam maksum as sebagai perantara antara dirinya dan Allah Yang Maha Tinggi. Namun, para ulama Wahabi memiliki pandangan khusus dan tidak menganggap tindakan ini diperbolehkan.

Wahabi memiliki pandangan yang tidak konsisten mengenai tawasul. Muhammad bin Abdul Wahhab menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap Islam secara mutlak dan menganggapnya sebagai bukti kekafiran. Namun, mereka mengizinkan tawasul kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah serta Al-Qur'an. Wahabi kontemporer memiliki pandangan yang lebih rinci mengenai tawasul. Muslim non-Wahabi memiliki pandangan yang bertentangan dengan Wahabi. Selain itu, terdapat dalil-dalil yang membolehkan tawasul baik dalam Al-Qur'an maupun dalam hadis dan perkataan ulama.

Pendahuluan

Istilah-Istilah

1. Tawasul

Secara bahasa, tawasul berasal dari kata "washl" yang berarti mendekat atau mencari kedekatan melalui suatu perbuatan.[1] Al-Fayumi menjelaskan maknanya: «توسل الی ربه بوسیله تقرب الیه بعمل» yang berarti mendekat kepada Allah melalui suatu perbuatan.[2] Penulis Lisan Al-Arab juga setuju dengan makna ini.[3]

Secara istilah, tawasul berarti mencari kedekatan dan mendekatkan diri, karena umumnya tawasul dimaknai sebagai seseorang yang menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara di hadapan Allah agar doanya diterima dan dia mencapai tujuannya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa secara istilah, «فالتوسل هو التوصل الی المراد و السعی فی تحقیقه»[4], dan penulis kitab Al-Ziyarah wa At-Tawasul mendefinisikannya sebagai: seorang hamba mendekat kepada Allah melalui sesuatu yang menjadi perantara baginya untuk terkabulnya doa dan tercapainya keinginan.[5] Namun, ini tidak berarti meminta sesuatu secara independen dari Nabi atau Imam, melainkan meminta kepada Allah melalui amal saleh, mengikuti Nabi dan Imam, atau memohon syafaat mereka, atau bersumpah kepada Allah dengan kedudukan dan ajaran mereka.[6] Oleh karena itu, terdapat kesesuaian antara makna bahasa dan istilah tawasul, di mana kedekatan dan pencapaian tujuan dipertimbangkan dalam keduanya.

2. Istighatsah Istighatsah memiliki kedekatan makna dengan tawasul dan berasal dari kata "ghauts" yang berarti pertolongan.[7] Ketika makna permintaan (istif'al) digunakan, maka maknanya menjadi meminta pertolongan, dan dengan demikian memiliki makna yang sama dengan tawasul, sebagaimana dalam hadis Nabi, istighatsah digunakan sebagai pengganti tawasul: «ان الشمس تدعوا یوم القیامة حتی یبلغ العرق نصف الاذن فبینما هم کذلک استغاثوا بآدم ثم موسی ثم بمحمد صلی الله علیه و السلم؛ Pada hari kiamat, matahari akan mendekat sehingga keringat mencapai tengah telinga, dan ketika orang-orang dalam keadaan seperti itu, mereka meminta pertolongan kepada Nabi Adam, kemudian Nabi Musa, dan kemudian Nabi Muhammad saw.»[8]

3. Syafaat Syafaat berasal dari kata "shaf'a", yang berarti menggabungkan dua atau lebih hal; oleh karena itu, makna syafaat adalah meminta pertolongan dari para wali dan nabi pada hari kiamat untuk diselamatkan dari neraka, yang tentu saja ini adalah bentuk tawasul. Al-Samhudi menulis: «التوسل به صلی الله تعالی علی و سلم فی عرصات القیامة فیشفع الی ربه تعالی؛ Tawasul kepada Rasulullah saw juga ada di padang mahsyar, di mana beliau akan memberikan syafaat kepada Allah Yang Maha Tinggi.»[9] Namun, kata syafaat dengan makna ini terkadang juga digunakan dalam arti tawasul secara umum.

Tawasul dalam Mazhab Wahabi

Pandangan Wahabi

Beberapa Wahabi membagi tawasul menjadi yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Salah satu bentuk tawasul yang diperbolehkan adalah tawasul kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah; yaitu, menurut Wahabi, tawasul kepada Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah diperbolehkan, sebagaimana firman Allah dalam ayat: ﴾وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَی فَادْعُوهُ بِهَا﴿.[10] Dan berdasarkan beberapa ayat Al-Qur'an seperti: "Dan sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah, maka janganlah kamu menyembah selain Allah seorang pun", "Katakanlah: Hanya milik Allah segala syafaat", dan "Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan mudarat dan tidak pula manfaat kepada mereka, dan mereka berkata: 'Mereka adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.' Katakanlah: 'Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan di bumi?' Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan", maka segala bentuk perantara antara Allah dan manusia dianggap sebagai syirik.[11][12][13][14]

Oleh karena itu, Wahabi mengizinkan tawasul kepada Al-Qur'an karena Al-Qur'an dianggap sebagai salah satu sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa tawasul kepada Al-Qur'an diperbolehkan karena Al-Qur'an, baik dari segi lafal maupun makna, adalah kalam Allah, dan kalam Allah adalah salah satu sifat Allah. Jadi, tawasul kepada Al-Qur'an adalah tawasul kepada salah satu sifat Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini tidak bertentangan dengan tauhid dan tidak mengarah pada syirik.[15]

Namun, mereka tidak mengizinkan tawasul kepada para wali, para nabi, dan Ahlul Bait Rasulullah. Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: "Jika seseorang berkata, 'Ya Allah, aku bertawasul kepada-Mu melalui Nabi-Mu saw agar Engkau melimpahkan rahmat-Mu kepadaku,' maka orang tersebut telah melakukan syirik dan keyakinannya adalah keyakinan orang-orang musyrik."[16][17]

Pandangan Wahabi Kontemporer

Wahabi kontemporer dalam masalah ini terbagi dan membagi tawasul kepada para wali Allah menjadi beberapa jenis:[18]

1. Jenis Pertama: Seseorang meminta kepada wali Allah yang masih hidup untuk memohon kepada Allah agar diberikan rezeki yang luas, kesembuhan bagi orang sakit, dan sebagainya. Menurut mereka, jenis tawasul ini diperbolehkan.

2. Jenis Kedua: Seseorang memanggil Allah dan bertawasul dengan cinta dan kasih sayang antara dirinya dengan Nabi atau antara dirinya dengan para wali Allah. Jenis tawasul ini juga diperbolehkan. Misalnya, seseorang berkata: «اللهم إنی أسألك بحبی لنبیك واتباعی له وبحبی لأولیائك أن تعطینی كذا» (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan cintaku kepada Nabi-Mu dan dengan mengikutinya, serta dengan cintaku kepada para wali-Mu, agar Engkau memberiku ini dan itu).

3. Jenis Ketiga: Tawasul kepada kedudukan dan martabat Nabi atau para wali Allah. Misalnya, seseorang berkata: «اللهم إنی أسألك بجاه نبیك أو بجاه الحسین» (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kedudukan Nabi-Mu atau dengan kedudukan Husain). Jenis tawasul ini tidak diperbolehkan karena dilakukan setelah wafatnya para nabi dan wali, meskipun kedudukan mereka agung.

4. Jenis Keempat: Tawasul kepada para wali Allah secara langsung dan meminta hajat kepada Allah melalui mereka. Misalnya, seseorang berkata: «اللهم إنی أسألک کذا بولیک فلان أو بحق نبیک فلان» (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ini dan itu melalui wali-Mu si fulan atau dengan hak Nabi-Mu si fulan). Jenis tawasul ini juga tidak diperbolehkan. Wahabi berpendapat bahwa tidak ada makhluk yang memiliki hak atas Allah sehingga Allah dapat diminta untuk memenuhi hajat melalui mereka. Menurut Wahabi, jenis tawasul ini termasuk dalam bentuk syirik yang jelas.

Pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab

Muhammad bin Abdul Wahhab menganggap tawasul sebagai salah satu hal yang membatalkan Islam. Dia berkata bahwa jika seseorang menjadikan perantara antara dirinya dan Allah dan meminta syafaat dari mereka, hal itu dapat menyebabkan kekafiran.[19]

Bantahan terhadap Pandangan Wahabi oleh Ahlusunah

Bantahan pertama terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab datang dari saudaranya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahhab, dalam bukunya Al-Shawa'iq Al-Ilahiyyah fi Ar-Radd 'ala Al-Wahabiyyah. Penyimpangan Wahabi dalam masalah tawasul selalu dikritik oleh Ahlusunah. Seperti yang dikatakan oleh As-Salami: «القول بجواز التوسل و استجابه هو قول جمهور علماء اهل السنه و الجماعه، بل هو قول المسلمین بجمیع فرقهم و مذاهبهم الا المذهب الذی ینتسب الیه مدعو السلفیه» (Pendapat yang membolehkan tawasul dan meminta pertolongan adalah pendapat mayoritas ulama Ahlusunah, bahkan ini adalah pendapat semua Muslim dari berbagai mazhab kecuali mazhab yang diikuti oleh mereka yang mengklaim sebagai Salafi).[20]

Al-Saqqaf Al-Qurashi berkata: "Meminta pertolongan dan syafaat melalui Nabi saw kepada Allah tidak pernah diingkari oleh ulama terdahulu maupun sekarang, sampai datangnya Ibnu Taimiyah yang mengingkarinya dan menyimpang dari jalan yang lurus. Dia mengada-adakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh seorang ulama pun sebelumnya. Jika perkataan Ibnu Taimiyah benar, mengapa Nabi saw mengajarkan seorang laki-laki untuk bertawasul melalui beliau kepada Allah: «اللهم إنی أتوجه الیک بنبیک محمد نبی الرحمة» (Ya Allah, aku menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat)? Apakah dengan tawasul ini menjadi syirik kepada Allah? Dan apakah Nabi saw mengajarkan sesuatu yang mengarahkan manusia kepada syirik? Maha Suci Allah, ini adalah tuduhan besar."[21]

Tawasul Imam Syafi'i kepada Ahlul Bait Nabi saw

Ibnu Hajar Al-Makki dalam Al-Shawa'iq Al-Muhriqah meriwayatkan dari Imam Syafi'i, pemimpin terkenal Ahlusunah, bahwa Imam Syafi'i bertawasul kepada Ahlul Bait Nabi saw dan mengutip syair terkenal darinya:[22]Templat:PoemTemplat:PoemDari riwayat-riwayat ini, jelas bahwa tawasul kepada Nabi saw untuk memenuhi kebutuhan dan hajat adalah diperbolehkan. Bahkan, Nabi saw memerintahkan seorang laki-laki buta untuk bertawasul melalui beliau kepada Allah untuk memenuhi kebutuhannya. Inilah filosofi sebenarnya dari tawasul, di mana orang-orang yang membutuhkan dan berdosa menggunakan para wali Allah sebagai perantara untuk mencapai keinginan mereka.

Tawasul dalam Mazhab Syiah

Pandangan Mazhab Syiah

Tawasul secara bahasa berarti memilih perantara, dan perantara berarti sesuatu yang mendekatkan seseorang kepada yang lain. Lisan Al-Arab mengatakan: "Tawasul kepada Allah dan memilih perantara adalah melakukan suatu tindakan yang mendekatkan seseorang kepada Allah, dan perantara berarti sesuatu yang digunakan seseorang untuk mendekatkan diri kepada sesuatu yang lain."[23]

Kesalahan besar Wahabi adalah mereka menganggap para wali Allah sebagai penolak bahaya dan sumber independen pemenuhan kebutuhan serta penghilang kesulitan. Padahal, makna tawasul bukanlah demikian. Ketika kita bertawasul kepada Nabi saw, kita tidak menganggap beliau sebagai sumber independen dalam memberikan pengaruh atau menghilangkan bahaya, sehingga kita menyembahnya. Tawasul yang diajarkan Al-Qur'an adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui beliau, yaitu beliau memberikan syafaat di hadapan Allah.[24] Ini seperti seseorang yang ingin pergi ke rumah seorang tokoh besar yang tidak dikenalnya, lalu meminta seseorang yang mengenal tokoh tersebut untuk menemaninya dan memperkenalkannya, sehingga tokoh tersebut dapat membantunya. Tindakan ini bukanlah penyembahan atau pengakuan independen terhadap pengaruh seseorang. Oleh karena itu, klaim bahwa tawasul adalah syirik adalah klaim tanpa dasar.[25]

Selain itu, pandangan Wahabi bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an, sehingga ulama Sunni dan Syiah menganggapnya sebagai bid'ah Wahabi dan menolaknya. Wahabi menggunakan masalah ini untuk mengkafirkan Muslim dan memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Seorang ulama Ahlusunah, As-Subki, berkata bahwa tawasul, istighatsah, dan meminta syafaat melalui Nabi saw kepada Allah adalah tindakan yang terpuji, dan tidak ada seorang pun dari ulama terdahulu maupun sekarang yang mengingkarinya, sampai datangnya Ibnu Taimiyah yang mengingkarinya dan menyimpang dari jalan yang lurus. Dia mengada-adakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh seorang ulama pun sebelumnya, dan dengan bid'ah ini, dia menciptakan perpecahan di antara umat Islam.[26]

Tawasul dalam Al-Qur'an

Pandangan Wahabi ini jelas bertentangan dengan beberapa ayat Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang menunjukkan kebolehan tawasul untuk memenuhi kebutuhan, pengampunan dosa, dan mendekatkan diri kepada Allah. Salah satunya adalah ayat berikut:

Allah berfirman kepada orang-orang beriman: ﴾یا أَیهَا الَّذینَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ ابْتَغُوا إِلَیهِ الْوَسیلَه وَ جاهِدُوا فی سَبیلِهِ لَعَلَّکُمْ تُفْلِحُونَ؛ Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung.﴿

Penulis tafsir Al-Maraghi, seorang ulama Ahlusunah, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wasilah dalam ayat ini adalah sesuatu yang digunakan untuk mendapatkan keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kemudian dia mengutip hadis dari Shahih Al-Bukhari dan kitab-kitab sunan lainnya di mana Rasulullah saw dijadikan sebagai wasilah. Dalam hadis ini, Nabi saw bersabda: «من قال حین یسمع النداء (الاذان) اللهم رب هذاه الدعوه التامه و الصلاة القائمة آت محمدا الوسیلة والفضیلة و ابعثه المقام المحمود الذی وعدته، حلت له شفاعتی یوم القیامه؛ Barangsiapa yang ketika mendengar azan berkata: "Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan, berikanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah dia di tempat terpuji yang Engkau janjikan," maka syafaatku akan halal baginya pada hari kiamat.»

Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa Nabi saw sendiri adalah wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan karena itu, beliau memiliki kedudukan terpuji di sisi Allah sehingga pada hari kiamat beliau dapat memberikan syafaat kepada orang-orang beriman. Oleh karena itu, tawasul sama sekali tidak menyebabkan syirik atau kekafiran. Jika demikian, menjadikan Nabi saw sebagai wasilah akan menyebabkan kekafiran dan syirik.[27]

Tawasul dalam Hadis

Dalam sumber-sumber Syiah, masalah tawasul sangat jelas sehingga tidak perlu mengutip hadis. Namun, sebagai contoh, kami akan menyebutkan beberapa riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab terkenal Ahlusunah:

1. Tawasul kepada Nabi untuk Mengatasi Kelaparan Selain tidak ada syirik atau kekafiran dalam tawasul, tawasul kepada Nabi saw setelah wafatnya adalah bukti jelas kebolehan tawasul jenis ini. Diriwayatkan bahwa terjadi kelaparan hebat di Madinah. Sekelompok orang mendatangi Aisyah dan meminta solusi. Aisyah berkata: "Pergilah ke samping makam Nabi saw, buatlah lubang di atap di atas makam sehingga langit terlihat dari sana, dan tunggulah hasilnya." Mereka pergi dan melubangi atap itu sehingga langit terlihat, dan hujan pun turun dengan deras, sehingga setelah beberapa waktu, padang pasir menjadi hijau dan unta-unta menjadi gemuk.[28]

2. Tawasul Seorang Pria Buta kepada Nabi Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Utsman bin Hunaif:[29][30][31][32]

"Seorang pria buta mendatangi Nabi saw dan berkata: 'Mohon doakan agar Allah menyembuhkanku.' Nabi saw berkata: 'Jika kamu ingin, aku akan mendoakanmu, atau jika kamu mau, aku akan menundanya, dan itu lebih baik.' Pria buta itu berkata: 'Doakanlah.' Nabi saw memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik, shalat dua rakaat, dan berdoa: 'Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadap kepada Tuhanku melalui dirimu agar Dia memenuhi kebutuhanku. Ya Allah, jadikanlah dia pemberi syafaat bagiku.'"

3. Tawasul Umar bin Khattab Anas berkata:[33]

«ان عمر بن الخطاب کان اذا قحطوا استسقی بالعباس بن عبدالمطلب، فقال: اللهم انا کنا نتوسل الیک بنبینا فتسقینا، و انا نتوسل الیک بعم نبینا فاسقنا، قال: فیسقون؛ Ketika terjadi kekeringan, Umar bin Khattab meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi saw, dan berkata: 'Ya Allah, dahulu kami bertawasul kepada-Mu melalui Nabi kami, dan Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami.' Lalu hujan pun turun."»

4. Doa Nabi untuk Fatimah binti Asad Dalam riwayat lain, kita membaca:[34][35][36]

"Ketika Fatimah binti Asad meninggal, Rasulullah saw setelah mengetahui kematiannya, duduk di samping jenazahnya dan berkata: 'Wahai ibuku setelah ibuku, semoga Allah merahmatimu.' Kemudian beliau memanggil Usamah, Abu Ayyub, Umar bin Khattab, dan seorang budak hitam untuk menyiapkan kuburan. Setelah kuburan siap, Nabi saw membuat liang lahad dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau berbaring miring di dalam kuburan dan berdoa: 'Ya Allah, Yang Menghidupkan dan Mematikan, dan Engkau hidup dan tidak mati, ampunilah ibuku Fatimah binti Asad dan luaskanlah tempatnya, demi hak Nabi-Mu dan para nabi sebelumku.'"

5. Tobat Nabi Adam Sebagian mufasir, ahli hadis, dan sejarawan Ahlusunah meriwayatkan dengan sanad dari Umar bin Khattab bahwa Nabi saw bersabda:[37][38][39]

"Ketika Adam melakukan dosa, dia menengadah ke langit dan berkata: 'Ya Allah, aku memohon kepada-Mu demi hak Muhammad, ampunilah aku.' Allah mewahyukan kepadanya: 'Siapakah Muhammad?' Adam menjawab: 'Ketika Engkau menciptakanku, aku menengadah ke Arsy dan melihat tulisan yang tertulis: (Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Aku berkata dalam hati: Muhammad adalah makhluk teragung yang Allah sebutkan namanya bersama-Nya.' Kemudian Allah mewahyukan kepadanya: 'Dia adalah nabi terakhir dari keturunanmu, dan jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakanmu.'"

Dari riwayat-riwayat ini, jelas bahwa tawasul kepada Nabi saw dan para wali Allah adalah praktik yang diterima dalam Islam, baik oleh Ahlusunah maupun Syiah. Wahabi, dengan pandangan ekstrem mereka, menolak praktik ini dan menganggapnya sebagai syirik, meskipun terdapat banyak dalil dari Al-Qur'an, hadis, dan praktik ulama terdahulu yang mendukung kebolehan tawasul. Oleh karena itu, pandangan Wahabi dalam hal ini dianggap menyimpang dan bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

Catatan Kaki

  1. Khalil bin Ahmad, Farahidi (1409). Kitab Al-Ain. Vol. 1. Muassasah Dar Al-Hijrah. p. 871.
  2. Ahmad bin Muhammad, Abul Abbas Al-Fayumi (1428). Al-Mishbah Al-Munir. Vol. 2. Al-Maktabah Al-Asriyah. p. 660.
  3. Muhammad bin Mukarram, Ibnu Manzur (1408). Lisan Al-Arab. Vol. 11. Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi. p. 724.
  4. Nukhbat min Al-Ulama (1421). Ushul Al-Iman fi Dhau' Al-Kitab wa As-Sunnah. Vol. 1. Kementerian Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan. p. 57.
  5. Abdul Hamid, Sa'ib (1421). Al-Ziyarah wa At-Tawasul. Qom: Markaz Ar-Risalah. p. 6.
  6. Naser, Makarem Shirazi (1374). Tafsir Nemuneh. Vol. 4. Tehran: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah. p. 365.
  7. Mubarak bin Muhammad, Ibn Al-Athir Al-Jazari (1979). An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Athar. Vol. 3. Beirut: Al-Maktabah Al-Ilmiyah. p. 393.
  8. Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari (1407). Al-Jami' As-Sahih. Vol. 5. Beirut: Dar Al-Kathir. p. 474.
  9. Ali bin Abdullah, As-Samhudi (1419). Wafa' Al-Wafa bi Akhbar Dar Al-Mustafa. Vol. 1. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. p. 196.
  10. Ahmad bin Ali, Az-Zamili Al-Asiri (1431). Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki (ed.). Manhaj Asy-Syaikh Abdul Razzaq Afifi wa Juhuduhu fi Taqrir Al-Aqidah wa Ar-Radd 'ala Al-Mukhalifin. Riyadh: Universitas Imam Muhammad bin Saud Al-Islamiyah. p. 276.
  11. Muhammad bin Abdul Wahhab. Majmu'ah Al-Mu'allafat. p. 385.
  12. Muhammad bin Abdul Wahhab. Majmu'ah Al-Mu'allafat. Vol. 6. p. 9.
  13. Muhammad bin Abdul Wahhab. Majmu'ah Al-Mu'allafat. Vol. 6. p. 68.
  14. Muhammad bin Abdul Wahhab. Majmu'ah Al-Mu'allafat. Vol. 6. p. 213.
  15. Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta', Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, Al-Majmu'ah Al-Ula, Arab Saudi, Riyadh, Ri'asah Idarat Al-Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta' - Al-Idarah Al-'Ammah lith-Thiba', pengumpulan dan penyusunan: Ahmad bin Abdul Razzaq Ad-Duwaisy, jilid 1, halaman 519.
  16. Muhammad bin Abdul Wahhab, Tathir Al-I'tiqad, tanpa penerbit, tanpa tahun, halaman 36; Rasa'il 'Amaliyah, tanpa penerbit, tanpa tahun, halaman 145.
  17. Muhammad bin Abdul Wahhab. Tathir Al-I'tiqad. p. 36.
  18. Ahmad bin Ali Az-Zamili, Al-Asiri. Manhaj Al-Syaikh Abdul Razzaq Afifi wa Juhuduhu fi Taqrir Al-Aqidah wa Ar-Radd 'ala Al-Mukhalifin. pp. 274–277.
  19. Muhammad bin Abdul Wahhab, Sulaiman At-Tamimi An-Najdi. Ismail bin Muhammad Al-Ansari (ed.). Majmu'ah Rasa'il fi At-Tauhid wa Al-Iman. Riyadh: Universitas Imam Muhammad bin Saud. p. 385.
  20. Abdurrahman, As-Salami (1415). Haqiqah Al-Hiwar ma'a Al-Syaikh Al-Ja'fari. Arab Saudi: Ad-Dakwah wa Al-Irsyad. p. 85.
  21. Hasan bin Ali, As-Saqqaf Al-Qurashi (1991). Sahih Syarh Al-Aqidah Al-Thahawiyyah min Fikr Al-Bait. p. 36.
  22. Yusuf bin Ismail, An-Nabhani. Offset/Hussein Hilmi bin Said Istanbul (ed.). Syawahid Al-Haq fi Al-Istifathah bi Sayyid Al-Khalq. p. 167.
  23. Muhammad bin Mukarram, Ibnu Manzur. Lisan Al-Arab. Vol. 8. Nasyr Adab Al-Hawzah. p. 69.
  24. Naser, Makarem Shirazi. Syi'ah Menjawab. Qom, Madrasah Imam Ali bin Abi Thalib as. p. 233.
  25. Naser, Makarem Shirazi. Syi'ah Menjawab. Qom, Madrasah Imam Ali bin Abi Thalib as. p. 234.
  26. Abdurrauf, Al-Munawi (1356). Faidh Al-Qadir Syarh Jami' Al-Shaghir. Vol. 2. Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra. p. 135.
  27. Ahmad bin Mustafa, Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Vol. 6. p. 109.
  28. Al-Darimi Abdullah bin Bahram, Sunan Al-Darimi, jilid 1, halaman 44, Mathba'ah Al-I'tidal, Damaskus, 1349 H.
  29. Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hanbal. "Kisah 17240". Al-Musnad. Vol. 28. p. 478.
  30. Ahmad bin Syu'aib, An-Nasa'i. "Kisah 10419". Sunan An-Nasa'i Al-Kubra. Vol. 9. p. 244.
  31. Muhammad bin Yazid, Ibnu Majah Al-Qazwini. "Kitab Ash-Shalah, Bab 189, Hadis 1385". Sunan Ibnu Majah. p. 441.
  32. Abu Isa, At-Tirmidzi. "Kitab Ad-Da'awat, Bab 119, Hadis 3578". As-Sunan At-Tirmidzi. Vol. 5. p. 569.
  33. Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari. "Kitab Al-Istisqa', Bab 3, Hadis 1010". Shahih Al-Bukhari. Vol. 2. p. 27.
  34. Ahmad bin Abdullah, Al-Isfahani. Hilyatul Awliya wa Thabaqatul Asfiya. Vol. 3. p. 121.
  35. Sulaiman bin Ahmad, At-Thabrani. "Bab Al-Fa'". Mu'jam Al-Kabir. Vol. 24. p. 351.
  36. Ali bin Abi Bakr, Al-Haitsami (1408). Majma' Az-Zawa'id wa Manba' Al-Fawa'id. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. p. 257.
  37. Ali bin Husam, Al-Muttaqi Al-Hindi. "Kisah 32138". Kanzul Ummal. Vol. 11. p. 455.
  38. Ali bin Abi Bakr, Al-Haitsami. Majma' Az-Zawa'id wa Manba' Al-Fawa'id. Vol. 8. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. p. 253.
  39. Sulaiman bin Ahmad, At-Thabrani. "Kisah 6502". Mu'jam Al-Awsath. Vol. 6. p. 313.

Templat:ارزیابی